MAKALAH FILSAFAT DAN HUKUM
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, salam dan shalawat
kepada Nabiullah Muhammad SAW, atas Qur’an, Hadits, dan segenap ilmu yang
tersebar di muka bumi ini,
hingga penyusunan Makalah ini
dapat terselesaikan.
Makalah ini disusun sebagai
proses pembelajaran tentang Mata Kuliah FILSAFAT dengan
judul :
“
FILSAFAT
DAN HUKUM“
Namun dalam penyusunan makalah ini kami menyadari
bahwa masih jauh dari kesempurnaan. Untuk
itu dengan segala kekurangan dan kerendahan hati, kami
sampaikan penghargaan, rasa hormat dan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Teman- Teman yang telah
membantu.
Menyadari sepenuhnya
akan keterbatasan Makalah ini kami
memohon maaf yang sebesar-besarnya. Akhir kata, bahwa segala apa yang di rencanakan
dapat terlaksana hanya dengan usaha dan
kerja keras dan bertawakkal kehadirat-Nya, semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak, meskipun masih sangat sederhana.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................!
DAFTAR ISI .........................................................................................!!
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................1
A.
Latar
Belakang
............................................................................1
B.
Rumusan
Masalah ......................................................................3
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................4
A.
Hakekat, Pengertian Hukum Sebagai Obyek Telaah Filsafat Hukum
.....................................................................................................4
B.
Filsafat Hukum (Definisi dan Fungsi)
..........................................19
BAB III PENUTUP ................................................................................25
A.
Kesimpulan ..................................................................................25
B.
Saran
...........................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................27
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dasarnya,
penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tentang sistem pemerintahan
Indonesia dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtsstaat), dalam
hal ini terlihat bahwa kata “hukum” dijadikan lawan kata “kekuasaan”. Tetapi
apabila kekuasaan adalah serba penekanan, intimidasi, tirani, kekerasan dan
pemaksaan maka secara filosofis dapat saja hukum dimanfaatkan oleh pihak
tertentu yang menguntungkan dirinya tetapi merugikan orang lain.
Hubungannya dengan hal tersbut di atas, maka
sesungguhnya perlu dipahami akan makna dari filsafat hukum. Filsafat hukum
mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum.
Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi
kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat
mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan
kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi
masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum
positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan
konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem
hukumnya sendiri.
Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat
hukum mengambil sebagai fenomena universal sebagai sasaran perhatiannya, untuk
kemudian dikupas dengan menggunakan standar analisa seperti tersebut di atas.
Suatu hal yang menarik adalah, bahwa “ilmu hukum” atau “jurisprudence” juga mempermasalahkan hukum dalam kerangka yang
tidak berbeda dengan filsafat hukum. Ilmu hukum dan filsafat hukum adalah
nama-nama untuk satu bidang ilmu yang mempelajari hukum secara sama.
Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa ini diperlukan
untuk menelusuri seberapa jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup
sehari-hari, juga untuk menunjukkan ketidaksesuaian antara teori dan praktek
hukum. Manusia memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak bermakna
karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalahtafsirkan
untuk mencapai kepentingan tertentu. Banyaknya kasus hukum yang tidak
terselesaikan karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan
dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan
keadaan yang sebenarnya. Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa hukum
menjadi “panglima” dalam menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh
sekelompok orang yang mampu membelinya atau orang yang memiliki kekuasaan yang
lebih tinggi. Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena pelecehan terhadap hukum
semakin marak. Tindakan pengadilan seringkali tidak bijak karena tidak memberi
kepuasan pada masyarakat. Hakim tidak lagi memberikan putusan adil pada setiap
pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur yang benar. Perkara
diputuskan dengan undang-undang yang telah dipesan dengan kerjasama antara
pembuat Undang-undang dengan pelaku kejahatan yang kecerdasannya mampu
membelokkan makna peraturan hukum dan pendapat hakim sehingga berkembanglah
“mafia peradilan”. Produk hukum telah dikelabui oleh pelanggarnya sehingga
kewibawaan hukum jatuh. Manusia lepas dari jeratan hukum karena hukum yang
dipakai telah dikemas secara sistematik sehingga perkara tidak dapat diadili
secara tuntas bahkan justru berkepanjangan dan akhirnya lenyap tertimbun
masalah baru yang lebih aktual. Keadaan dan kenyataan hukum dewasa ini sangat
memprihatinkan karena peraturan perundang-undangan hanya menjadi lalu lintas
peraturan, tidak menyentuh persoalan pokoknya, tetapi berkembang, menjabar
dengan aspirasi dan interpretasi yang tidak sampai pada kebenaran, keadilan dan
kejujuran. Fungsi hukum tidak bermakna lagi, karena adanya kebebasan tafsiran
tanpa batas yang dimotori oleh kekuatan politik yang dikemas dengan tujuan
tertentu.
Perlunya kita mengetahui filsafat hukum karena relevan
untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum
adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu
memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan
dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal
dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi
perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu. Olehnya itu, dari
ilustrasi latar belakang di atas penulis tertarik megambil judul makalah
mengenai hakekat, pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum.
B.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini
adalah bagaimana hakekat, pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakekat,
Pengertian Hukum Sebagai Obyek Telaah Filsafat Hukum
Semenjak kita duduk di bangku pendidikan lanjutan
serta Perguruan Tinggi kita sering mendengar tentang filsafat, apakah
sebenarnya filsafat tersebut ? Seseorang yang berfilsafat diumpamakan seorang
yang berpijak dibumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin mengetahui
hakikat keberadaan dirinya, ia berfikir dengan sifat menyeluruh (tidak
puas jika mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat
oleh indrawi saja). Ia juga berfikir dengan sifat (tidak lagi percaya begitu
saja bahwa sesuatu itu benar). Ia juga berfikir dengan sifat spekulatif (dalam
analisis maupun pembuktiannya dapat memisahkan spekulasi mana yang dapat
diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama filsafat adalah menetapkan
dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Kemudian lebih mengerucut lagi adalah Filsafat hukum,
yaitu ilmu yang mempelajari hukum secara filosofi, yang dikaji secara luas,
mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat. Dan
tujuan mempelajari filsafat hukum untuk memperluas cakrawala pandang sehingga
dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dan diharapkan akan
menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-kaidah
hukum. Filsafat hukum ini berpengaruh terhadap pembentukan kaidah hukum sebagai
hukum in abstracto.
Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang
cerdas, sebagai “subjek Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia.
Filsafat hukum tak lepas dari manusia selaku subjek hukum maupun subjek
filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu
berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan dan
kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu
adil, benar, dan sah.
Perlu diketahui bahwa pengertian hukum yang akan
dikemukakan berangkat dari pemahaman akan makna dari filsafat hukum.
Hubungannya dengan filsafat hukum, maka tentunya perlu adanya pengetahuan awal
mengenai filsafat itu sendiri dan sudah banyak pengertian tentang filsafat
tersebut menurut para filsuf yang memberikan persepsinya mengenai filsafat,
diantaranya :
1.
Plato,
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
2.
Aristoteles,
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di
dalamnya ilmu-ilmu matematika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan
estetika.
3.
Al Farabi,
filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakekat yang
sebenarnya.
4.
Descartes,
filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia
menjadi pokok penyelidikan.
5.
Immanuel
Kant, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari
segala pengetahuan yang tercakup di dalam empat persoalan, yaitu metafisika,
etika, agama, dan antropologi.
Olehnya itu untuk mengupas pengertian filsafat hukum,
terlebih dahulu kita harus mengetahui di mana letak filsafat hukum dalam
filsafat. Sebagaimana telah diketahui bahwa hukum terkait dengan tingkah
laku/perilaku manusia, terutama untuk mengatur perilaku manusia agar tidak
terjadi kekacauan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum
adalah sub dari cabang filsafat manusia. yang disebut dengan etika atau
filsafat tingkah laku.
Dengan demikian, hakikat hukum dapat dijelaskan dengan
cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldoom
sebagaimana dikutipnya dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari
tentang apa definisi hukum (Noch suchen die juristen eine Definition zu
ihrem BegrifJe von Recht). Definisi tentang hukum yang dikemukakan para ahli
hukum sangat beragam, bergantung dari sudut mana mereka melihatnya. Ahli hukum
Belanda J. van Kan (1983) mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan
ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi
kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat tersebut mirip dengan
definisi dari Rudolf van Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan
norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen
menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku.
Pendapat ini didukung oleh ahli hukum Indonesia Wirjono Projodikoro (1992) yang
menyatakan bahwa hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku
orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan
dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib masyarakat
itu. Selanjutnya Notohamidjojo (1975) berpendapat bahwa hukum adalah
keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat
memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang
berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan
damai dalam masyarakat. Definisi-definisi tersebut menggambarkan betapa luas
sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Pumadi
Purbaearaka dan Soerjono Soekanto (1986) dengan menyebut sembilan arti hukum.
Menurut mereka hukum dapat diartikan sebagai:
Ø Ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun
seeara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
Ø Disiplin, yaitu suatu sistem ajaran kenyataan atau
gejala-gejala yang dihadapi.
Ø Norma, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau
perilakuan yang pantas atau diharapkan.
Ø Tata hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma-
norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk
tertulis.
Ø Petugas, yaitu pribadi-pribadi yang merupakan kalangan
yang berhubungan dengan penegakan hukum (Iawenforcement officer).
Ø Keputusan penguasa, yaitu hasil proses diskresi.
Ø Proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik
antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan.
Ø Sikap tindaktanduk atau perikelakuan
"teratur", yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang
sama yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
Ø Jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi
abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Dengan demikian apabila kita ingin mendefinisikan
hukum secara memuaskan, kita harus dapat merumuskan suatu kalimat yang meliputi
paling tidak sembilan arti hukum itu. Suatu pekerjaan yang tidak mudah.
Walaupun hukum dapat didefinisikan menurut sekian banyak pengertian, tetapi
secara umum hukum dipandang sebagai norma, yaitu norma yang mengandung
nilai-nilai tertentu. Jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai norma,
tidak lalu berarti hukum identik dengan norma. Norma adalah pedoman manusia
dalam bertingkah laku. Dengan demikian, norma hukum hanyalah salah satu saja
dari sekian banyak pedoman tingkah laku itu. Di luar norma hukum terdapat
norma-norma lain. Purbacaraka dan Soekanto (1989) menyebutkan ada empat norma,
yaitu:
ü Kepercayaan
ü Kesusilaan
ü Sopan santun
ü Hukum
Tiga norma yang disebutkan dimuka dalam kenyataannya
belum dapat mernberikan perlindungan yang memuaskan sehingga diperlukan norma
yang keempat, yaitu norma hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo (1991) penyebabnya
adalah:
1.
Masih ban
yak kepentingan-kepentingan lain manusia yang memerlukan perlindungan, tetapi
belum mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut
2.
Kepentingan-kepentingan
manusia yang telah mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut
belum eukup terlindungi, karena dalam hat terjadi pelanggaran, reaksi atau
sanksinya dirasakan belum eukup memuaskan.
Sebagai contoh, norma kepercayaan tidak memberikan
sanksi yang dapat dirasakan secara langsung didunia ini. Demikian pula jika
norma kesusilaan dilanggar, hanya akan menimbulkan rasa malu atau penyesalan
bagi pelakunya, tetapi dengan tidak ditangkap dan diadilinya pelaku tersebut,
masyarakat mungkin akan merasa tidak aman. Perlindungan yang diberikan oleh
norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain,
tidak lain karena pelaksanaan norma hukum dikatakan lebih memuaskan
dibandingkan dengan norma-norma yang lain, tidak lain karena pelaksanaan norma
hukum itu dapat dipaksakan. Apabila tidak dilaksanakan, pada prinsipnya akan
dikenakan sanksi oleh penguasa. Di sini terlihat betapa erat hubungan antara
hukum dan kekuasaan itu. Kekuasaan yang dimiliki itupun terbatas sifatnya
sehingga norma hukum yang ingin ditegakkannya pun memiliki daya jangkau yang
terbatas. Kendati demikian, bukan tidak mungkin terdapat norma-norma hukum yang
berlaku universal dan abadi (tidak dibatasi oleh ruang dan waktu), yang oleh
sebagian ahli hukum disebut dengan hukum kodrat atau hukum alam. Dari sini
timbul hubungan yang erat antara hukum kodrat dengan hukum positif. Dari sekian
banyak definisi yang ada, menurut Paul Seholten ada beberapa ciri-ciri hukum,
sebagaimana dikutip oleh A. Gunawan Setiardja (1990: 79-90) yaitu:
v Hukum adalah aturan perbuatan manusia. Dengan demikian
menurut ahli hukum, tatanan hukum adalah hukum positif yang dibuat oleh
pemerintah dan pemerintah adalah sumber hukum.
v Hukum bukan hanya dalam keputusan, melainkan juga
dalamrealisasinya. Menurut Prof. Padmo Wahyono, S.H., hukum yang berlaku dalam
suatu negara mencerminkan perpaduan sikap dan pendapat pimpinan pemerintah dan
masyarakat mengenai hukum tersebut.
v Hukum ini mewajibkan. Apabila hukum positif telah
ditetapkan maka setiap warga negara wajib untuk menaati hukum sesuai dengan
undang-undang.
v Institusionali hukum. Hukum positif merupakan hukum
institusional dan melindungi masyarakat.
v Dasar hukum. Setiap hukum mempunyai dasar, yaitu
mewajibkan dan mengharuskan. Pelaksanaannya dengan ideologi bangsa.
Menurut Soejono
Koesoemo Sisworo, penegakan hukum oleh Hakim melalui penemuan hukum itu
termasuk obyek pokok dari telaah filsafat hukum. Disamping masalah lainnya
seperti hakekat pengertian hukum, cita/tujuan hukum dan berlakunya hukum.
Sedangkan menurut Lili Rasyidi,
obyek pembahasan filsafat hukum masa kini memang tidak terbatas pada masalah
tujuan hukum melainkan juga setiap masalah mendasar yang muncul dalam
masyarakat dan memerlukan pemecahan. Masalah itu antara lain :
ü Hubungan hukum dengan kekuasaan
ü Hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya
ü Apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang
ü Apa sebab orang menaati hukum
ü Masalah pertanggungjawaban
ü Masalah hak milik
ü Masalah kontrak
ü Masalah peranan hukum sebagai
Sarana pembaharuan masyarakat (socialengineering).
Sedangkan menurut Theo Huybers,
unsur yang menonjol dalam telaah filsafat hukum antara lain tentang arti hukum kaitannya dengan hukum
alam serta prinsip etika, kaitan hukum dengan
pribadi manusia dan masyarakat, pembentukan hukum, serta perkembangan rasa keadilan dalam Hak Asasi manusia.
Selain itu, Roscoe Pound sebagai
salah seorang pendasar aliran Sociological
Jurisprudence yang tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat, memiliki 12
(dua belas) konsepsi tentang hukum. Kedua belas konsepsi hukum yang dikemukakan
oleh Pound tersebut dipergunakan untuk menjelaskan gagasan tentang hak-hak
asasi yang sebenarnya berguna untuk menerangkan untuk apa sebenarnya hukum itu,
dan menunjukkan bahwa seberapa mungkin harruslah sedikit hukum itu, karena
hukum merupakan satu kekangan terhadap kebebasan manusia, dan kekangan itu
walaupun hanya sedikit menuntut pembenaran yang kuat. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya 12
konsepsi Pound tentang hukum, karena gagasan untuk apa hukum itu terkandung
sebagian besarnya di dalam gagasan tentang apa hukum itu, maka satu tinjauan
pendek mengenai gagasan tentang sifat hukum dipandang dari pendirian ini akan
sangat berguna dalam mepelajari tujuan hukum dari segi filososfis. Adapun ke-12
konsepsi Pound tentang hukum tersebut terdiri dari :
§ Pertama, boleh kita kemukakan gagasan tentang satu
kaidah atau sehimpunan kaidah yang diturunkan oleh Tuhan untuk mengatur
tindakan manusia, misalnya undang-undang Nabi Musa, atau undang-undang
Hammurabi, yang diturunkan oleh Dewa Matahari setelah selesai disusun, atau
undang-undang Manu yang didiktekan kepada para budiman oleh putra Manu, Bhrigu
namanya, di depan Manu sendiri dan atas petunjuknya.
§ Ada satu gagasan tentang hukum sebagai satu tradisi
dari kebiasaan lama yang ternyata dapat diterima oleh dewa-dewa dan karena itu
menunjukkan jalan yang boleh ditempuh manusia dengan amannya. Sebab manusia
primitif, yang menganggap dirinya dilingkungi oleh kekuatan gaib di dalam alam
yang banyak tingkah dan suka membalas dendam, terus-menerus dalam ketakutan
kalau-kalau ia melanggar sesuatu yang dilarang oleh mahkluk gaib. Dengan
demikian ia dan orang sekampungnya akan dimarahi oleh mahkluk gaib tersebut. Kesalahan
umum menuntut supaya orang melakukan hanya apa yang diperbolehkan, dan
melakukan menurut cara yang digariskan oleh kebiasaan yang sudah lama dituruti,
setidaknya jangan melakukan apa yang tidak disenangi oleh dewa-dewa. Hukum
adalah himpunan perintah yang tradisional akan dicatat, yang di alam kebiasaan
itu dipelihara dan dinyatakan. Bilamana kita menjumpai sehimpunan hukum
primitif yang merupakan tradisi golongan dipunyai oleh satu oligarchi politik, boleh jadi ia akan
dianggap sebagai tradisi golongan, persis seperti sehimpunan tradisi yang sama
tetapi dipelihara oleh ulama atau pendeta, pasti akan dipandang sebagai yang
telah diwahyukan oleh Tuhan.
§ Gagasan ini rapat dengan yang kedua, yakni memahamkan
hukum sebagai kebijaksanaan yang dicatat
dari para budiman di masa lalu yang telah dipelajari. Jalan yang
selamat, atau jalan kelakuan manusia yang disetujui oleh Tuhan. Apabila satu
kebiasaan tradisional dari keputusan dan kebiasaan tindakan telah dituliskan
dalam kitab undang-undang primitif, mungkin dia akan dianggap sebagai hukum.
Demosthenes yang hidup dalam abad kekempat sebelum Masehi dapat melukiskan
hukum Athena dengan kata-kata tadi.
§ Hukum dapat dipahamkan sebagai satu sistem asas-asas
yang ditemukan secara filasaft, yang menyatakan sifat benda-benda, dan karena
itu manusia harus menyesuaikan kelakuannya dengan sifat benda-benda itu.
Demikianlah, gagasan sarjana hukum Romawi, yang sebenarnya merupakan cangkokan
dari gagasan kedua dan ketiga tadi, dan dari satu teori politik tentang hukum sebagai
perintah dari bangsa Romawi; dan semuanya dirukunkan dengan memahamkan tradisi
dan kebijaksanaan yang tercatat dan perintah bangsa-bangsa yang semata-mata
sebagai pernyataan atau pencerminan dari asas-asas yang dicari kepastiannya
secara filsafat, harus diukur, dibentuk, ditafsirkan , dan ditambah oleh yang
tigta tadi. Setelah diolah oleh ahli-ahli filsafat ini, konsepsi yang tersebut
tadi kerapkali mendapat bentuk lain
§ Sehingga kelima hukum dipandang sebagai satu himpunan
penegasan dan pernyataan dari satu undang-undang kesusilaan yang abadi dan
tidak berubah-ubah.
§ Ada satu gagasan mengenai hukum sebagai satu himpunan
persetujuan yang dibuat manusia di dalam masyarakat yang diatur secara politik,
persetujuan yang mengatur hubungan antara yang seorang dengan yang lainnya. Ini
adalah suatu pandangan demokratis tentang identifikasi hukum dengan kaidah
hukum, dan karena itu dengan pengundangan dekrit dari negara kota yang
diperbincangkan di dalam buku Minos dari
Plato. Sudah sewajarnyalah Demosthenes menganjurkan kepada satu juri di Athena.
Sangat mungkin dengan teori serupa itu, satu gagasan filsafat akan menyokong
gagasan politik dan kewajiban moril yang melekat pada suatu janji akan
dipergunakan untuk menunjukkan mengapa orang harus menepati persetujuan yang
mereka buat di dalam majelis rakyat
§ Hukum
dipikirkan sebagai satu pencerminan dari akal Illahi yang menguatkan alam
semesta ini; satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai satuan yang berkesusilaan, yang berbeda dengan
yang masih dilakukan, yang ditujukan kepada mahkluk lain selain manusia. Begitulah konsepsi Thomas Aquino, yang
mempunyai penganut banyak sampai abad ke-17 dan semenjak itu masih besar
pengaruhnya
§ Hukum telah dipahamkan sebagai satu himpunan perintah
dari penguasa yang berdaulat di dalam satu masyarakat yang disusun menurut satu
sistem kenegaraan, tentang bagaimana orang harus bertindak di dalam masyarakat
itu, dan perintah itu pada tingkat terakhir berdasarkan apa saja yang dianggap
terdapat di belakang wewenang dari yang berdaulat. Demikianlah
anggapan-anggapan sarjana-sarjana Romawi pada masa republik dan masa klasik
mengenai hukum positif. Dan karena Kaisar memegang kedaulatan rakyat Romawi
yang diserahkan kepada baginda, maka Institutiones
dari Kaisar Justinianus dapat menetapkan bahawa kemauan kaisar mempunyai
keuatan satu undang-undang. Cara berfikir serupa itu cocok dengan
pikiran-pikiran ahli-ahli hukum yang giat menyokong kekuasaan raja dalam
memusatkan kerajaan Perancis pada abad ke-16 dan ke-17, dan dengan perantaraan
ahli-ahli hukum itu masuklah cara berfikir itu ke dalam hukum publik. Rupanya
dia sesuai dengan keadaan di sekitar kekuasaan tertinggi Parlemen di tanah
Inggris sesudah tahun 1688 dan menjadi teori hukum Inggris yang kolot.
Demikianlah dia dicocokkan dengan satu teori politik tentang kedaulatan rakyat
yang menurut teori itu, rakyat dianggap sebagai pengganti parlemen untuk
memegang kedaulatan pada waktu Revolusi Amerika, atau sebagai pengganti Raja
Perancis pada waktu Revolusi Perancis
§ Satu gagasan yang menganggap hukum sebagai satu sistem
pemerintah, ditemukan oleh pengalaman manusia yang menunjukkan, bahwa kemauan
tiap manusia perseorangan akan mencapai kebebasan sesempurna mungkin yang
sejalan dengan kebebasan serupa itu
pula, yang diberikan kepada kemauan orang-orang lain. Gagasan ini yang dianut
dalam salah satu bentuk oleh mazhab sejarah, telah membagi ksetiaan sarjana
hukum kepada teori hukum sebagai perintah dari pemegang kedaulatan, dan hal in
terjadi hampir di sepanjang abad yang lalu. Menurut anggapan pada masa itu,
pengalaman manusia yang menemukan prinsip hukum ditentukan dengan sesuatu cara
yang tak dapat dielakkan lagi. Ini bukanlah soal daya upaya manusia yang
dilakukannya dengan sadar. Prosesnya ditentukan oleh pengembangan suatu gagasan
mengenai hak dan keadilan, satu gagasan tentang kebebasan yang mewujudkan
dirinya di dalam pelaksanaan peradilan oleh manusia, atau oleh kerja-kerja
hukum yang biologis atau psikologis atau tentang sifat-sifat jenis bangsa, yang
kemudian menghasilkan sistem hukum daru suatu masa dan suatu bangsa yang
bersangkutan.
§ Orang menganggap hukum itu sebagai satu sistem
asas-asas, yang ditemukan secara filsafat dan dikembangkan sampai pada
perinciannya oleh tulisan-tulisan sarjana hukum dan putusan pengadilan, yang
dengan perantaraan tulisan dan putusan itu kehidupan lahir manusia diukur oleh
akal, atau pada taraf lain, dengan tulisan dan putusan itu kemauan tiap orang
yang bertindak diselaraskan dengan kehendak orang lain. Cara berfikir ini
muncul pada abad ke-19 sesudah ditinggalkan teori hukum alam dalam bentuk yang
mempengaruhi pikiran hukum selama dua abad, dan filsafat diminta untuk
memberikan satu terhadap kritik susunan sistematik dan perkembangan detail.
§ Hukum dipahamkan sebagai sehimpunan atau sistem kaidah
yang dipikulkan atas manusia di dalam masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa
untuk sementara buat memajukan kepentingan kelas itu sendiri, baik dilakukan
dengan sadar maupun tidak sadar. Interpretasi ekonomis dari hukum ini banyak
bentuknya. Di dalam satu bentuk yang idealistis, yang dipikirkannya adalah
pengembangan satu gagasan ekonomi yang tak dapat dihindarkan. Di dalam satu
bentuk sosiologis mekanis, pikirannya dihadapkan pada perjuangan kelas atau
satu perjuangan untuk hidup di lapangan perekonomian, dan hukum adalah akibat
dari pekerjaan tenaga atau hukum yang terlibat atau menentukan perjuangan
serupa itu. Di dalam betuk Positivistis-Analistis, hukum dipandang sebagai
perintah dari pemegang kedaulatan, tetapi perintah itu seperti yang ditentukan
isi ekonomisnya oleh kemauan kelas yang berkuasa, pada gilirannya ditentukan
oleh kepentingan mereka sendiri. Semua bentuk ini terdapat dalam masa peralihan
dari stabilitas kematangan hukum ke satu masa pertumbuhan baru. Apabila gagasan
bahwa hukum dapat mencukupkan keperluan sendiri telah ditinggalkan, dan orang
mulai mencoba menghubungkan ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yang
lebih dulu menonjol ialah hubungan dengan ilmu ekonomi. Tambahan lagi pada masa
undang-undang banyak dibuat peraturan perundang-undangan yang dundangkan mudah
dianggap orang sebagai type darimperintah hukum, dan satu percobaan hendak
membentuk satu teori tentang pembuatan undang-undang oleh badan legislatif
dianggap memberikan uraian tentang semua hukum.
§ Akhirnya ada satu gagasan tentang hukum sebagai
perintah dari undang-undang ekonomi dan sosial yang berhubungan dengan
tindak-tanduk manusia di dalam masyarakat, yang ditemukan oleh pengamatan,
dinyatakan dalam perintah yang disempurnakan oleh pengalaman manusia mengenai
apa yang akan terpakai dan apa yang tidak terpakai di dalam penyelenggaraan
peradilan. Teori type ini terdapat pada akhir abad ke-19, tatkala orang mulai
mencari dasar fisik dan biologis, yang dapat ditemukan oleh pengamatan, dan
bukan lagi dasar metafisik, yang ditemukan oleh perenungan filsafat. Satu
bentuk lain menemukan satu kenyataan sosial yang terakhir dengan pengamatan dan
mengembangkan kesmpulan yang logis dari kenyataan itu, mirip seperti yang
dilakukan oleh sarjana hukum metafisika. Ini adalah akibat lagi dari suatu
kecenderungan dalam tahun mutakhir yang hendak mempersatukan ilmu-ilmu sosial,
yang lebih besar kepada teori-teori sosiologi.
Keduabelas konsepsi tentang hukum tersebut terkait
dengan teorinya yang dikenal dengan “Law
as a tool of social engineering”. Untuk itu, Pound membuat penggolongan
atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut :
1.
Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari :
a.
Kepentingan
negara sebagai badan hukum
b.
Kepentingan
negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2.
Kepentingan
Masyarakat (Social Interest):
a.
Kepentingan
akan kedamaian dan ketertiban
b.
Perlindungan
lembaga-lembaga sosial
c.
Pencegahan
kemerosotan akhlak
d.
Pencegahan
pelanggaran hak
e.
Kesejahteraan
sosial
3.
Kepentingan
Pribadi (Private Recht)
a.
Kepentingan
individu
b.
Kepentingan
keluarga
c.
Kepentingan
hak milik.
Dari klasifikasi tersebut dapat
ditarik dua hal penting, yaitu: Pertama, Pound mengikuti garis pemikiran yang
berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum
sebagai ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial.
Penggolongan kepentingan tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan dari apa yang
telah dilakukan Jhering. Oleh karena itu, dilihat dari hal tersebut, Pound
dapat pula digolongkan ke dalam alairan Utilitarianisme dalam kapasitasnya
sebagai penerus Jhering dan Bentham.
Kedua,
klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum, sehingga membuat
pembentuk undng-undang, hakim, pengacara, dan pengajar hukum menyadari
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus.
Dengan kata lain, klasifikasi tersebut membantu menghubungkan antara prinsip
hukum dan praktiknya.
B.
Filsafat
Hukum (Definisi dan Fungsi)
Manusia memiliki sifat ingin tahu
terhadap segala sesuatu, sesuatu yang diketahui manusia tersebut disebut
pengetahuan.Pengetahuan dibedakan menjadi 4 (empat) , yaitu pengetahuan indera,
pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, pengetahuan agama. Istilah “pengetahuan”
tidak sama dengan “ilmu pengetahuan”. Pengetahuan seorang manusia dapat berasal
dari pengalamannya atau dapat juga berasal dari orang lain sedangkan ilmu
adalah pengetahuan yang memiliki obyek, metode, dan sistematika tertentu serta
ilmu juga bersifat universal.
Filsafat hukum merupakan suatu
cabang filsafat yang memilih hukum sebagai objek penyelidikannya, yang
selanjutnya dipahami secara mendalam. Karena filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Maka obyek filsafat hukum adalah hukum.
Menurut Soetikno filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia
ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi
di dalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai,
postulat sampai pada dasar-dasarnya, ia berusaha untuk mencapai akar-akar dari
hukum.
Dalam mempelajari filsafat hukum alangkah baiknya jika
ditinjau dari sejarah serta perkembangan terlebih dahulu. Sebab sejarah
filsafat hukum dari abad Yunani sampai abad sekarang ini teorinya berbeda-beda.
Dengan mengetahui sejarah dan perkembangannya kita akan lebih banyak mengetahui
pandangan para filsuf dari satu abad hingga ke abad lainnya.
Dari sejarah filsafat hukum dapat
dipelajari bahwa pada zaman dulu hukum alam sering kali dianggap sebagai hukum
yang sah. Pada zaman Yunani-Romawi hukum alam disamakan dengan prinsip-prinsip
suatu aturan ilahi yang terkandung dalam alam itu. Dalam pandangan filsuf
Yunani kuno seperti Plato, Aristoteles dan Stoa hukum ditanggapi sebagai
pernyataan dari Tuhan.
Pada abad pertengahan hukum
diartikan sebagai pernyataan kehendak Tuhan dengan alam dan dengan manusia.
Sedangkan pada zaman sekarang ini filsuf-filsuf yang menerima suatu hukum alam
memandangnya sebagai norma bagi hukum positif. Pandangan zaman Yunani-Romawai
tentang hukum alam sangat berbeda dengan zaman sekarang yang berhubung hak-hak
manusia. Zaman dulu hak-hak itu belum diakui sama sekali, bahkan juga dilanggar
umpamanya perbudakan.
Pada zaman sekarang bertambahlah
kesadaran bahwa hukum harus dikaitkan dengan keadilan supaya dapat dipandang
hukum. Atau dengan kata-kata lain bahwa orang makin yakin bahwa hukum positif
harus menurut norma-norma yang tertentu yakni prinsip-prinsip keadilan. Thomas
Aquinas membedakan keadilan dalam tiga bagian diantaranya :
§
Keadilan
distributif : yang menyangkut hal umum
§
Keadilan tukar
menukar : yang menyangkut barang yang ditukar.
§
Keadilan
legal : yang menyangkut keseluruhan hukum.
Andang L. Binawan pernah menegaskan,
bahwa hukum dan keadilan adalah dua hal yang berbeda, walaupun tidak bisa
dipisahkan. (Binawan, 2004) Keadilan adalah sebuah cita-cita yang menjadi arah
dari kehidupan manusia. Sementara hukum adalah ciptaan manusia yang sudah sejak
proses pembentukannya menggendong ketidakadilan.
Oleh karena itu di satu sisi, hukum
harus cukup detil menampung semua aspek dari kehidupan manusia yang perlu untuk
diatur guna mencegah terjadinya kerugian sosial (social lost). Di sisi
lain hukum perlu untuk cukup terbuka untuk bisa ditafsirkan dengan mengacu pada
prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi daripada pasal-pasal hukum itu
sendiri. Kasus lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan pemberantasan
korupsi menunjukkan kurangnya otoritas hukum yang berlaku (kurang detil di
dalam penerapan pasal per pasal). Sementara kasus penangkapan seorang nenek
berusia 55 tahun setelah ia mencuri 3 biji kakao untuk ditanam sungguh
mengganggu rasa keadilan masyarakat (hukum tidak mengacu pada prinsip-prinsip
keadilan yang lebih tinggi).
Penilaian hukum dan keadilan itu
relatif, karena jika diterapkan secara ketat sesuai dengan rumusan yang ada,
maka kemungkinan besar akan melanggar rasa keadilan yang ada di masyarakat.
Namun jika ditafsirkan terlalu jauh dari pasal hukum demi penyesuaian terhadap
rasa keadilan masyarakat, hukum pun menjadi tidak berguna, karena ia tidak lagi
memiliki otoritas untuk dipatuhi.
Hukum yang ideal adalah hukum yang
berada di titik seimbang antara positivisme hukum (penafsiran secara ketat
dengan mengacu pada pasal-pasal hukum), dan rasa keadilan (moralitas dan
norma-norma yang menurut suatu masyarakat dianggap sebagai adil).
Keadilan berkaitan erat dengan
pendistribusian hak dan kewajiban, hak yang bersifat mendasar sebagai anugerah
Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu hak yang dimiliki seseorang sejak lahir
dan tidak dapat diganggu gugat. Keadilan merupakan salah satu tujuan sepanjang
perjalanan sejarah filsafat hukum. Keadilan adalah kehendak yang ajeg, tetap
untuk memberikan kepasa siapapun sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
masyarakat dan tuntutan jaman
Menurut
Immanuel Kant bahwa diperlukan bagi menuju suatu keadilan adalah dengan
yang yang namanya “prejuridical society”
(masyarakat hukum). “Prejuridical society”
yang diandaikan Kant adalah menuntut bahwa pelaksanaan hak (hukum) harus
disertai dengan kesediaan memikul kewajiban dan tanggungjawab demi kebaikan
bersama. Tanggungjawab ini muncul bukan karena warga negara memiliki kewajiban
moral natural terhadap Negara. Individu tidak memiliki moral natural terhadap
Negara, tetapi pertama-tama dan terutama karena setiap warga Negara atau
individu memiliki tanggungjawab moral natural terhadap sesama, yakni kewajiban
bukan saja untuk tidak merugikan, tetapi lebih dari itu, melakukan sesuatu demi
pemenuhan hak-hak sesama
Masyarakat hukum dan Negara hukum
inilah yang bisa memberikan “jaminan hukum” bahwa hukum dibangun memang untuk
menegakkan keadilan. Bukan untuk membuka kesewenang-wenangan dan kemunafikan.
Tetapi membuka jalan kebahagiaan dan ketentraman. Karena tanpa keadilan, maka
hukum hanya akan terperosok menjadi alat pembenaran kesewenang-wenangan
mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai.
Tata
rakit antara filsafat, hukum dan keadilan, dengan filsafat sebagai induk ilmu (mother
of science), adalah untuk mencari jalan keluar dari belenggu kehidupan
secara rational dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan
dalam hidupnya. Peranan filsafat tak pernah selesai, tidak pernah berakhir
karena filsafat tidak menyelidiki satu segi tetapi tidak terbatas objeknya,
namun filsafat tetap setia kepada metodenya sendiri dengan menyatakan semua di
dunia ini tidak ada yang abadi yang tetap hanya perubahan, jadi benar filsafat
ilmu tanpa batas. Filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika yang
bersifat universal.
Rasa keadilan harus diberlakukan
dalam setiap lini kehidupan manusia yang terkait dengan masalah hukum, sebab
hukum terutama filsafat hukum menghendaki tujuan hukum tercapai yaitu :
1.
Mengatur
pergaulan hidup secara damai.
2.
Mewujudkan
suatu keadilan.
3.
Tercapainya
keadilan berasaskan kepentingan, tujuan dan kegunaan, kemanfaatan dalam hidup
bersama.
4.
Menciptakan
suatu kondisi masyarakat yang tertib, aman dan damai.
5.
Hukum
melindungi setiap kepentingan manusia di dalam masyarakat, sesuai dengan hukum
yang berlaku, sehingga terwujud kepastian hukum (rechmatigkeit) dan
jaminan hukum (Doelmatigkeit).
6.
Meningkatkan
kesejahteraan umum (populi) dan mampu memelihara kepentingan umum dalam
arti kepentingan seluruh anggota masyarakat serta memberikan kebahagiaan secara
optimal kepada sebanyak mungkin orang, dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya (utilitarianisme).
7.
Mempertahankan
kedamaian dalam masyarakat atas dasar kebersamaan sehingga terwujud
perkembangan pribadi atas kemauan dan kekuasaan, sehingga terwujud pemenuhan
kebutuhan manusia secara maksimal” dengan memadukan tata hubungan filsafat,
hukum, dan keadilan.
Penjabaran fungsi filsafat hukum
terhadap permasalahan keadilan merupakan hal yang sangat fundamental karena
keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum yang diterapkan pada Hukum
Positif. Hukum merupakan alat untuk mengelola masyarakat (Law as a tool of
social engineering, menurut Roscoe Pound), pembangunan, penyempurna
kehidupan bangsa, negara dan masyarakat demi terwujudnya rasa keadilan bagi
setiap individu, yang berdampak positif bagi terwujudnya “kesadaran hukum”. Ini
merupakan cara untuk menjabarkan fungsi hukum yang masih relevan dengan
kehidupan peraturan-perundang-undangan yang berlaku (Hukum Positif).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada
dasarnya hakekat hukum yang ideal sebagai obyek filsafat hukum tentunya mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang
“dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh
pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat
hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap
bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama
sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan
mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang
serta sistem hukumnya sendiri.
Oleh sebab itu, hukum harus
melindungi kepentingan-kepentingan sebagimana yang dikemukakan oleh Pound yaitu
sebagai berikut :
1.
Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari :
a.
Kepentingan
negara sebagai badan hukum
b.
Kepentingan
negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2.
Kepentingan
Masyarakat (Social Interest):
a.
Kepentingan
akan kedamaian dan ketertiban
b.
Perlindungan
lembaga-lembaga sosial
c.
Pencegahan
kemerosotan akhlak
d.
Pencegahan
pelanggaran hak
e.
Kesejahteraan
sosial
3.
Kepentingan
Pribadi (Private Recht):
a.
Kepentingan
individu
b.
Kepentingan
keluarga
c.
Kepentingan
hak milik.
B.
Saran
Sebagai bentuk saran dari
penulis hubungannya dengan hakekat, pengertian hukum sebagai obyek telaah
filsafat hukum yakni sebagai insan yang berpikir tentunya dapat membedakan yang
mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang salah dan mana yang benar.
Utamanya kepada para penegak hukum, haruslah mengetahui akan makna hukum itu
sendiri agar tidak terjebak dalam dinamika perdebatan akan makna hukum itu,
sehingga dengan demikian mereka mampu menegakkan hukum secara ideal yang
mengedepankan keselarasan antara keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Kencana,
Syafiie Inu, Pegantar Filsafat.
Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
Muchsin, Ikhtisar
Filsafat Hukum, cetakan kedua , Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006
Pound,
Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum,
(Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar
Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
Soeyono Koesoemo
Sisworo, “Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum”, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Soeyono Koesoemo Sisworo, Pidato Ilmiah Dies Natalis Ke-25
UNISSULA, “Dengan semangat Sultan Agung
Kita Tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan kebenaran, suatu perjuangan yang
tidak pernah tuntas”.
Definisi Filsafat Hukum. http://definisi-pengertian.blogspot.com/2009/11/definisi-filsafat-hukum.html. (diakses pada 9 Januari 2011).
Penafsiran Hukum dan Rasa Keadilan.
http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/261. (Diakses pada 10 Januari 2011).
Membangun Hukum, Membela Keadilan. http://kampus.mitrahukum.org/?p=147. (Diakses pada 9 Januari 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar