Minggu, 25 Mei 2014

MAKALAH FILSAFAT DAN HUKUM

KATA PENGANTAR


Assalamualaikum Wr. Wb.
     Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, salam dan shalawat kepada Nabiullah Muhammad SAW, atas Qur’an, Hadits, dan segenap ilmu yang tersebar di muka bumi ini, hingga penyusunan Makalah ini dapat terselesaikan.
     Makalah ini disusun sebagai proses pembelajaran tentang Mata Kuliah FILSAFAT dengan judul :
FILSAFAT DAN HUKUM
     Namun dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu dengan segala kekurangan dan kerendahan hati, kami sampaikan penghargaan, rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Teman- Teman yang telah membantu.
     Menyadari sepenuhnya akan keterbatasan Makalah ini kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Akhir kata, bahwa segala apa yang di rencanakan dapat terlaksana hanya dengan usaha dan kerja keras dan bertawakkal kehadirat-Nya, semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, meskipun masih sangat sederhana.


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................!
DAFTAR ISI .........................................................................................!!
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................1
A.        Latar Belakang ............................................................................1
B.        Rumusan Masalah ......................................................................3
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................4
A.        Hakekat, Pengertian Hukum Sebagai Obyek Telaah Filsafat Hukum .....................................................................................................4
B.        Filsafat Hukum (Definisi dan Fungsi) ..........................................19
BAB III PENUTUP ................................................................................25
A.        Kesimpulan ..................................................................................25
B.        Saran ...........................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................27











BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Pada dasarnya,  penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tentang sistem pemerintahan Indonesia dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), dalam hal ini terlihat bahwa kata “hukum” dijadikan lawan kata “kekuasaan”. Tetapi apabila kekuasaan adalah serba penekanan, intimidasi, tirani, kekerasan dan pemaksaan maka secara filosofis dapat saja hukum dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang menguntungkan dirinya tetapi merugikan orang lain.
Hubungannya dengan hal tersbut di atas, maka sesungguhnya perlu dipahami akan makna dari filsafat hukum. Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri.
Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat hukum mengambil sebagai fenomena universal sebagai sasaran perhatiannya, untuk kemudian dikupas dengan menggunakan standar analisa seperti tersebut di atas. Suatu hal yang menarik adalah, bahwa “ilmu hukum” atau “jurisprudence” juga mempermasalahkan hukum dalam kerangka yang tidak berbeda dengan filsafat hukum. Ilmu hukum dan filsafat hukum adalah nama-nama untuk satu bidang ilmu yang mempelajari hukum secara sama. 
Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri seberapa jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga untuk menunjukkan ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum. Manusia memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak bermakna karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalahtafsirkan untuk mencapai kepentingan tertentu. Banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan keadaan yang sebenarnya. Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa hukum menjadi “panglima” dalam menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh sekelompok orang yang mampu membelinya atau orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena pelecehan terhadap hukum semakin marak. Tindakan pengadilan seringkali tidak bijak karena tidak memberi kepuasan pada masyarakat. Hakim tidak lagi memberikan putusan adil pada setiap pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur yang benar. Perkara diputuskan dengan undang-undang yang telah dipesan dengan kerjasama antara pembuat Undang-undang dengan pelaku kejahatan yang kecerdasannya mampu membelokkan makna peraturan hukum dan pendapat hakim sehingga berkembanglah “mafia peradilan”. Produk hukum telah dikelabui oleh pelanggarnya sehingga kewibawaan hukum jatuh. Manusia lepas dari jeratan hukum karena hukum yang dipakai telah dikemas secara sistematik sehingga perkara tidak dapat diadili secara tuntas bahkan justru berkepanjangan dan akhirnya lenyap tertimbun masalah baru yang lebih aktual. Keadaan dan kenyataan hukum dewasa ini sangat memprihatinkan karena peraturan perundang-undangan hanya menjadi lalu lintas peraturan, tidak menyentuh persoalan pokoknya, tetapi berkembang, menjabar dengan aspirasi dan interpretasi yang tidak sampai pada kebenaran, keadilan dan kejujuran. Fungsi hukum tidak bermakna lagi, karena adanya kebebasan tafsiran tanpa batas yang dimotori oleh kekuatan politik yang dikemas dengan tujuan tertentu.
Perlunya kita mengetahui filsafat hukum karena relevan untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu. Olehnya itu, dari ilustrasi latar belakang di atas penulis tertarik megambil judul makalah mengenai hakekat, pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum.

B.        Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana hakekat, pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum?
BAB II
PEMBAHASAN

A.        Hakekat, Pengertian Hukum Sebagai Obyek Telaah Filsafat Hukum
Semenjak kita duduk di bangku pendidikan lanjutan serta Perguruan Tinggi kita sering mendengar tentang filsafat, apakah sebenarnya filsafat tersebut ? Seseorang yang berfilsafat diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin mengetahui hakikat keberadaan dirinya, ia berfikir dengan sifat menyeluruh (tidak puas jika mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat oleh indrawi saja). Ia juga berfikir dengan sifat (tidak lagi percaya begitu saja bahwa sesuatu itu benar). Ia juga berfikir dengan sifat spekulatif (dalam analisis maupun pembuktiannya dapat memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Kemudian lebih mengerucut lagi adalah Filsafat hukum, yaitu ilmu yang mempelajari hukum secara filosofi, yang dikaji secara luas, mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat. Dan tujuan mempelajari filsafat hukum untuk memperluas cakrawala pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dan diharapkan akan menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-kaidah hukum. Filsafat hukum ini berpengaruh terhadap pembentukan kaidah hukum sebagai hukum in abstracto.
Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas, sebagai “subjek Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat hukum tak lepas dari manusia selaku subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu adil, benar, dan sah.
Perlu diketahui bahwa pengertian hukum yang akan dikemukakan berangkat dari pemahaman akan makna dari filsafat hukum. Hubungannya dengan filsafat hukum, maka tentunya perlu adanya pengetahuan awal mengenai filsafat itu sendiri dan sudah banyak pengertian tentang filsafat tersebut menurut para filsuf yang memberikan persepsinya mengenai filsafat, diantaranya :
1.         Plato, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat    mencapai kebenaran yang asli.
2.         Aristoteles, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu matematika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
3.         Al Farabi, filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakekat yang sebenarnya.
4.         Descartes, filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
5.         Immanuel Kant, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di dalam empat persoalan, yaitu metafisika, etika, agama, dan antropologi.
Olehnya itu untuk mengupas pengertian filsafat hukum, terlebih dahulu kita harus mengetahui di mana letak filsafat hukum dalam filsafat. Sebagaimana telah diketahui bahwa hukum terkait dengan tingkah laku/perilaku manusia, terutama untuk mengatur perilaku manusia agar tidak terjadi kekacauan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia. yang disebut dengan etika atau filsafat tingkah laku.
Dengan demikian, hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldoom sebagaimana dikutipnya dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum (Noch suchen die juristen eine Definition zu ihrem BegrifJe von Recht). Definisi tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, bergantung dari sudut mana mereka melihatnya. Ahli hukum Belanda J. van Kan (1983) mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf van Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini didukung oleh ahli hukum Indonesia Wirjono Projodikoro (1992) yang menyatakan bahwa hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib masyarakat itu. Selanjutnya Notohamidjojo (1975) berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat. Definisi-definisi tersebut menggambarkan betapa luas sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Pumadi Purbaearaka dan Soerjono Soekanto (1986) dengan menyebut sembilan arti hukum. Menurut mereka hukum dapat diartikan sebagai:
Ø   Ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun seeara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
Ø   Disiplin, yaitu suatu sistem ajaran kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
Ø   Norma, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilakuan yang pantas atau diharapkan.
Ø   Tata hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma- norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis.
Ø   Petugas, yaitu pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan dengan penegakan hukum (Iawenforcement officer).
Ø   Keputusan penguasa, yaitu hasil proses diskresi.
Ø   Proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan.
Ø   Sikap tindaktanduk atau perikelakuan "teratur", yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
Ø   Jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Dengan demikian apabila kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus dapat merumuskan suatu kalimat yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum itu. Suatu pekerjaan yang tidak mudah. Walaupun hukum dapat didefinisikan menurut sekian banyak pengertian, tetapi secara umum hukum dipandang sebagai norma, yaitu norma yang mengandung nilai-nilai tertentu. Jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai norma, tidak lalu berarti hukum identik dengan norma. Norma adalah pedoman manusia dalam bertingkah laku. Dengan demikian, norma hukum hanyalah salah satu saja dari sekian banyak pedoman tingkah laku itu. Di luar norma hukum terdapat norma-norma lain. Purbacaraka dan Soekanto (1989) menyebutkan ada empat norma, yaitu:
ü   Kepercayaan
ü   Kesusilaan
ü   Sopan santun
ü   Hukum
Tiga norma yang disebutkan dimuka dalam kenyataannya belum dapat mernberikan perlindungan yang memuaskan sehingga diperlukan norma yang keempat, yaitu norma hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo (1991) penyebabnya adalah:
1.         Masih ban yak kepentingan-kepentingan lain manusia yang memerlukan perlindungan, tetapi belum mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut
2.         Kepentingan-kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut belum eukup terlindungi, karena dalam hat terjadi pelanggaran, reaksi atau sanksinya dirasakan belum eukup memuaskan.
Sebagai contoh, norma kepercayaan tidak memberikan sanksi yang dapat dirasakan secara langsung didunia ini. Demikian pula jika norma kesusilaan dilanggar, hanya akan menimbulkan rasa malu atau penyesalan bagi pelakunya, tetapi dengan tidak ditangkap dan diadilinya pelaku tersebut, masyarakat mungkin akan merasa tidak aman. Perlindungan yang diberikan oleh norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain, tidak lain karena pelaksanaan norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain, tidak lain karena pelaksanaan norma hukum itu dapat dipaksakan. Apabila tidak dilaksanakan, pada prinsipnya akan dikenakan sanksi oleh penguasa. Di sini terlihat betapa erat hubungan antara hukum dan kekuasaan itu. Kekuasaan yang dimiliki itupun terbatas sifatnya sehingga norma hukum yang ingin ditegakkannya pun memiliki daya jangkau yang terbatas. Kendati demikian, bukan tidak mungkin terdapat norma-norma hukum yang berlaku universal dan abadi (tidak dibatasi oleh ruang dan waktu), yang oleh sebagian ahli hukum disebut dengan hukum kodrat atau hukum alam. Dari sini timbul hubungan yang erat antara hukum kodrat dengan hukum positif. Dari sekian banyak definisi yang ada, menurut Paul Seholten ada beberapa ciri-ciri hukum, sebagaimana dikutip oleh A. Gunawan Setiardja (1990: 79-90) yaitu:
v   Hukum adalah aturan perbuatan manusia. Dengan demikian menurut ahli hukum, tatanan hukum adalah hukum positif yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah adalah sumber hukum.
v   Hukum bukan hanya dalam keputusan, melainkan juga dalamrealisasinya. Menurut Prof. Padmo Wahyono, S.H., hukum yang berlaku dalam suatu negara mencerminkan perpaduan sikap dan pendapat pimpinan pemerintah dan masyarakat mengenai hukum tersebut.
v   Hukum ini mewajibkan. Apabila hukum positif telah ditetapkan maka setiap warga negara wajib untuk menaati hukum sesuai dengan undang-undang.
v   Institusionali hukum. Hukum positif merupakan hukum institusional dan melindungi masyarakat.
v   Dasar hukum. Setiap hukum mempunyai dasar, yaitu mewajibkan dan mengharuskan. Pelaksanaannya dengan ideologi bangsa.
Menurut Soejono Koesoemo Sisworo, penegakan hukum oleh Hakim melalui penemuan hukum itu termasuk obyek pokok dari telaah filsafat hukum. Disamping masalah lainnya seperti hakekat pengertian hukum, cita/tujuan hukum dan berlakunya hukum. Sedangkan menurut Lili Rasyidi, obyek pembahasan filsafat hukum masa kini memang tidak terbatas pada masalah tujuan hukum melainkan juga setiap masalah mendasar yang muncul dalam masyarakat dan memerlukan pemecahan. Masalah itu antara lain :
ü   Hubungan hukum dengan kekuasaan
ü   Hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya
ü   Apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang
ü   Apa sebab orang menaati hukum
ü   Masalah pertanggungjawaban
ü   Masalah hak milik
ü   Masalah kontrak
ü   Masalah peranan hukum sebagai
Sarana pembaharuan masyarakat (socialengineering). Sedangkan menurut Theo Huybers, unsur yang menonjol dalam telaah filsafat hukum antara lain tentang arti hukum kaitannya dengan hukum alam serta prinsip etika, kaitan hukum dengan pribadi manusia dan masyarakat, pembentukan hukum, serta perkembangan rasa keadilan dalam Hak Asasi manusia.
Selain itu, Roscoe Pound sebagai salah seorang pendasar aliran Sociological Jurisprudence yang tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat, memiliki 12 (dua belas) konsepsi tentang hukum. Kedua belas konsepsi hukum yang dikemukakan oleh Pound tersebut dipergunakan untuk menjelaskan gagasan tentang hak-hak asasi yang sebenarnya berguna untuk menerangkan untuk apa sebenarnya hukum itu, dan menunjukkan bahwa seberapa mungkin harruslah sedikit hukum itu, karena hukum merupakan satu kekangan terhadap kebebasan manusia, dan kekangan itu walaupun hanya sedikit menuntut pembenaran yang kuat.  Hal inilah yang melatarbelakangi adanya 12 konsepsi Pound tentang hukum, karena gagasan untuk apa hukum itu terkandung sebagian besarnya di dalam gagasan tentang apa hukum itu, maka satu tinjauan pendek mengenai gagasan tentang sifat hukum dipandang dari pendirian ini akan sangat berguna dalam mepelajari tujuan hukum dari segi filososfis. Adapun ke-12 konsepsi Pound tentang hukum tersebut terdiri dari :
§    Pertama, boleh kita kemukakan gagasan tentang satu kaidah atau sehimpunan kaidah yang diturunkan oleh Tuhan untuk mengatur tindakan manusia, misalnya undang-undang Nabi Musa, atau undang-undang Hammurabi, yang diturunkan oleh Dewa Matahari setelah selesai disusun, atau undang-undang Manu yang didiktekan kepada para budiman oleh putra Manu, Bhrigu namanya, di depan Manu sendiri dan atas petunjuknya.
§    Ada satu gagasan tentang hukum sebagai satu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata dapat diterima oleh dewa-dewa dan karena itu menunjukkan jalan yang boleh ditempuh manusia dengan amannya. Sebab manusia primitif, yang menganggap dirinya dilingkungi oleh kekuatan gaib di dalam alam yang banyak tingkah dan suka membalas dendam, terus-menerus dalam ketakutan kalau-kalau ia melanggar sesuatu yang dilarang oleh mahkluk gaib. Dengan demikian ia dan orang sekampungnya akan dimarahi oleh mahkluk gaib tersebut. Kesalahan umum menuntut supaya orang melakukan hanya apa yang diperbolehkan, dan melakukan menurut cara yang digariskan oleh kebiasaan yang sudah lama dituruti, setidaknya jangan melakukan apa yang tidak disenangi oleh dewa-dewa. Hukum adalah himpunan perintah yang tradisional akan dicatat, yang di alam kebiasaan itu dipelihara dan dinyatakan. Bilamana kita menjumpai sehimpunan hukum primitif yang merupakan tradisi golongan dipunyai oleh satu oligarchi politik, boleh jadi ia akan dianggap sebagai tradisi golongan, persis seperti sehimpunan tradisi yang sama tetapi dipelihara oleh ulama atau pendeta, pasti akan dipandang sebagai yang telah diwahyukan oleh Tuhan.
§    Gagasan ini rapat dengan yang kedua, yakni memahamkan hukum sebagai kebijaksanaan yang dicatat  dari para budiman di masa lalu yang telah dipelajari. Jalan yang selamat, atau jalan kelakuan manusia yang disetujui oleh Tuhan. Apabila satu kebiasaan tradisional dari keputusan dan kebiasaan tindakan telah dituliskan dalam kitab undang-undang primitif, mungkin dia akan dianggap sebagai hukum. Demosthenes yang hidup dalam abad kekempat sebelum Masehi dapat melukiskan hukum Athena dengan kata-kata tadi.
§    Hukum dapat dipahamkan sebagai satu sistem asas-asas yang ditemukan secara filasaft, yang menyatakan sifat benda-benda, dan karena itu manusia harus menyesuaikan kelakuannya dengan sifat benda-benda itu. Demikianlah, gagasan sarjana hukum Romawi, yang sebenarnya merupakan cangkokan dari gagasan kedua dan ketiga tadi, dan dari satu teori politik tentang hukum sebagai perintah dari bangsa Romawi; dan semuanya dirukunkan dengan memahamkan tradisi dan kebijaksanaan yang tercatat dan perintah bangsa-bangsa yang semata-mata sebagai pernyataan atau pencerminan dari asas-asas yang dicari kepastiannya secara filsafat, harus diukur, dibentuk, ditafsirkan , dan ditambah oleh yang tigta tadi. Setelah diolah oleh ahli-ahli filsafat ini, konsepsi yang tersebut tadi kerapkali mendapat bentuk lain
§    Sehingga kelima hukum dipandang sebagai satu himpunan penegasan dan pernyataan dari satu undang-undang kesusilaan yang abadi dan tidak berubah-ubah.
§    Ada satu gagasan mengenai hukum sebagai satu himpunan persetujuan yang dibuat manusia di dalam masyarakat yang diatur secara politik, persetujuan yang mengatur hubungan antara yang seorang dengan yang lainnya. Ini adalah suatu pandangan demokratis tentang identifikasi hukum dengan kaidah hukum, dan karena itu dengan pengundangan dekrit dari negara kota yang diperbincangkan  di dalam buku Minos dari Plato. Sudah sewajarnyalah Demosthenes menganjurkan kepada satu juri di Athena. Sangat mungkin dengan teori serupa itu, satu gagasan filsafat akan menyokong gagasan politik dan kewajiban moril yang melekat pada suatu janji akan dipergunakan untuk menunjukkan mengapa orang harus menepati persetujuan yang mereka buat di dalam majelis rakyat
§     Hukum dipikirkan sebagai satu pencerminan dari akal Illahi yang menguatkan alam semesta ini; satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai satuan yang berkesusilaan, yang berbeda dengan yang masih dilakukan, yang ditujukan kepada mahkluk lain selain manusia.  Begitulah konsepsi Thomas Aquino, yang mempunyai penganut banyak sampai abad ke-17 dan semenjak itu masih besar pengaruhnya
§    Hukum telah dipahamkan sebagai satu himpunan perintah dari penguasa yang berdaulat di dalam satu masyarakat yang disusun menurut satu sistem kenegaraan, tentang bagaimana orang harus bertindak di dalam masyarakat itu, dan perintah itu pada tingkat terakhir berdasarkan apa saja yang dianggap terdapat di belakang wewenang dari yang berdaulat. Demikianlah anggapan-anggapan sarjana-sarjana Romawi pada masa republik dan masa klasik mengenai hukum positif. Dan karena Kaisar memegang kedaulatan rakyat Romawi yang diserahkan kepada baginda, maka Institutiones dari Kaisar Justinianus dapat menetapkan bahawa kemauan kaisar mempunyai keuatan satu undang-undang. Cara berfikir serupa itu cocok dengan pikiran-pikiran ahli-ahli hukum yang giat menyokong kekuasaan raja dalam memusatkan kerajaan Perancis pada abad ke-16 dan ke-17, dan dengan perantaraan ahli-ahli hukum itu masuklah cara berfikir itu ke dalam hukum publik. Rupanya dia sesuai dengan keadaan di sekitar kekuasaan tertinggi Parlemen di tanah Inggris sesudah tahun 1688 dan menjadi teori hukum Inggris yang kolot. Demikianlah dia dicocokkan dengan satu teori politik tentang kedaulatan rakyat yang menurut teori itu, rakyat dianggap sebagai pengganti parlemen untuk memegang kedaulatan pada waktu Revolusi Amerika, atau sebagai pengganti Raja Perancis pada waktu Revolusi Perancis
§    Satu gagasan yang menganggap hukum sebagai satu sistem pemerintah, ditemukan oleh pengalaman manusia yang menunjukkan, bahwa kemauan tiap manusia perseorangan akan mencapai kebebasan sesempurna mungkin yang sejalan dengan kebebasan  serupa itu pula, yang diberikan kepada kemauan orang-orang lain. Gagasan ini yang dianut dalam salah satu bentuk oleh mazhab sejarah, telah membagi ksetiaan sarjana hukum kepada teori hukum sebagai perintah dari pemegang kedaulatan, dan hal in terjadi hampir di sepanjang abad yang lalu. Menurut anggapan pada masa itu, pengalaman manusia yang menemukan prinsip hukum ditentukan dengan sesuatu cara yang tak dapat dielakkan lagi. Ini bukanlah soal daya upaya manusia yang dilakukannya dengan sadar. Prosesnya ditentukan oleh pengembangan suatu gagasan mengenai hak dan keadilan, satu gagasan tentang kebebasan yang mewujudkan dirinya di dalam pelaksanaan peradilan oleh manusia, atau oleh kerja-kerja hukum yang biologis atau psikologis atau tentang sifat-sifat jenis bangsa, yang kemudian menghasilkan sistem hukum daru suatu masa dan suatu bangsa yang bersangkutan.
§    Orang menganggap hukum itu sebagai satu sistem asas-asas, yang ditemukan secara filsafat dan dikembangkan sampai pada perinciannya oleh tulisan-tulisan sarjana hukum dan putusan pengadilan, yang dengan perantaraan tulisan dan putusan itu kehidupan lahir manusia diukur oleh akal, atau pada taraf lain, dengan tulisan dan putusan itu kemauan tiap orang yang bertindak diselaraskan dengan kehendak orang lain. Cara berfikir ini muncul pada abad ke-19 sesudah ditinggalkan teori hukum alam dalam bentuk yang mempengaruhi pikiran hukum selama dua abad, dan filsafat diminta untuk memberikan satu terhadap kritik susunan sistematik dan perkembangan detail.
§    Hukum dipahamkan sebagai sehimpunan atau sistem kaidah yang dipikulkan atas manusia di dalam masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa untuk sementara buat memajukan kepentingan kelas itu sendiri, baik dilakukan dengan sadar maupun tidak sadar. Interpretasi ekonomis dari hukum ini banyak bentuknya. Di dalam satu bentuk yang idealistis, yang dipikirkannya adalah pengembangan satu gagasan ekonomi yang tak dapat dihindarkan. Di dalam satu bentuk sosiologis mekanis, pikirannya dihadapkan pada perjuangan kelas atau satu perjuangan untuk hidup di lapangan perekonomian, dan hukum adalah akibat dari pekerjaan tenaga atau hukum yang terlibat atau menentukan perjuangan serupa itu. Di dalam betuk Positivistis-Analistis, hukum dipandang sebagai perintah dari pemegang kedaulatan, tetapi perintah itu seperti yang ditentukan isi ekonomisnya oleh kemauan kelas yang berkuasa, pada gilirannya ditentukan oleh kepentingan mereka sendiri. Semua bentuk ini terdapat dalam masa peralihan dari stabilitas kematangan hukum ke satu masa pertumbuhan baru. Apabila gagasan bahwa hukum dapat mencukupkan keperluan sendiri telah ditinggalkan, dan orang mulai mencoba menghubungkan ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yang lebih dulu menonjol ialah hubungan dengan ilmu ekonomi. Tambahan lagi pada masa undang-undang banyak dibuat peraturan perundang-undangan yang dundangkan mudah dianggap orang sebagai type darimperintah hukum, dan satu percobaan hendak membentuk satu teori tentang pembuatan undang-undang oleh badan legislatif dianggap memberikan uraian tentang semua hukum.
§    Akhirnya ada satu gagasan tentang hukum sebagai perintah dari undang-undang ekonomi dan sosial yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia di dalam masyarakat, yang ditemukan oleh pengamatan, dinyatakan dalam perintah yang disempurnakan oleh pengalaman manusia mengenai apa yang akan terpakai dan apa yang tidak terpakai di dalam penyelenggaraan peradilan. Teori type ini terdapat pada akhir abad ke-19, tatkala orang mulai mencari dasar fisik dan biologis, yang dapat ditemukan oleh pengamatan, dan bukan lagi dasar metafisik, yang ditemukan oleh perenungan filsafat. Satu bentuk lain menemukan satu kenyataan sosial yang terakhir dengan pengamatan dan mengembangkan kesmpulan yang logis dari kenyataan itu, mirip seperti yang dilakukan oleh sarjana hukum metafisika. Ini adalah akibat lagi dari suatu kecenderungan dalam tahun mutakhir yang hendak mempersatukan ilmu-ilmu sosial, yang lebih besar kepada teori-teori sosiologi.
Keduabelas konsepsi tentang hukum tersebut terkait dengan teorinya yang dikenal dengan “Law as a tool of social engineering”. Untuk itu, Pound membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut :
1.         Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari :
a.         Kepentingan negara sebagai badan hukum
b.         Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2.         Kepentingan Masyarakat (Social Interest):
a.        Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban
b.        Perlindungan lembaga-lembaga sosial
c.        Pencegahan kemerosotan akhlak
d.        Pencegahan pelanggaran hak
e.        Kesejahteraan sosial
3.         Kepentingan Pribadi (Private Recht)
a.         Kepentingan individu
b.         Kepentingan keluarga
c.         Kepentingan hak milik.
Dari klasifikasi tersebut dapat ditarik dua hal penting, yaitu: Pertama, Pound mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Penggolongan kepentingan tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan dari apa yang telah dilakukan Jhering. Oleh karena itu, dilihat dari hal tersebut, Pound dapat pula digolongkan ke dalam alairan Utilitarianisme dalam kapasitasnya sebagai penerus Jhering dan Bentham.
Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum, sehingga membuat pembentuk undng-undang, hakim, pengacara, dan pengajar hukum menyadari prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan kata lain, klasifikasi tersebut membantu menghubungkan antara prinsip hukum dan praktiknya.

B.        Filsafat Hukum (Definisi dan Fungsi)
Manusia memiliki sifat ingin tahu terhadap segala sesuatu, sesuatu yang diketahui manusia tersebut disebut pengetahuan.Pengetahuan dibedakan menjadi 4 (empat) , yaitu pengetahuan indera, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, pengetahuan agama. Istilah “pengetahuan” tidak sama dengan “ilmu pengetahuan”. Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya atau dapat juga berasal dari orang lain sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang memiliki obyek, metode, dan sistematika tertentu serta ilmu juga bersifat universal.
Filsafat hukum merupakan suatu cabang filsafat yang memilih hukum sebagai objek penyelidikannya, yang selanjutnya dipahami secara mendalam. Karena filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Maka obyek filsafat hukum adalah hukum.
Menurut Soetikno filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, postulat sampai pada dasar-dasarnya, ia berusaha untuk mencapai akar-akar dari hukum.
Dalam mempelajari filsafat hukum alangkah baiknya jika ditinjau dari sejarah serta perkembangan terlebih dahulu. Sebab sejarah filsafat hukum dari abad Yunani sampai abad sekarang ini teorinya berbeda-beda. Dengan mengetahui sejarah dan perkembangannya kita akan lebih banyak mengetahui pandangan para filsuf dari satu abad hingga ke abad lainnya.
Dari sejarah filsafat hukum dapat dipelajari bahwa pada zaman dulu hukum alam sering kali dianggap sebagai hukum yang sah. Pada zaman Yunani-Romawi hukum alam disamakan dengan prinsip-prinsip suatu aturan ilahi yang terkandung dalam alam itu. Dalam pandangan filsuf Yunani kuno seperti Plato, Aristoteles dan Stoa hukum ditanggapi sebagai pernyataan dari Tuhan.
Pada abad pertengahan hukum diartikan sebagai pernyataan kehendak Tuhan dengan alam dan dengan manusia. Sedangkan pada zaman sekarang ini filsuf-filsuf yang menerima suatu hukum alam memandangnya sebagai norma bagi hukum positif. Pandangan zaman Yunani-Romawai tentang hukum alam sangat berbeda dengan zaman sekarang yang berhubung hak-hak manusia. Zaman dulu hak-hak itu belum diakui sama sekali, bahkan juga dilanggar umpamanya perbudakan.
Pada zaman sekarang bertambahlah kesadaran bahwa hukum harus dikaitkan dengan keadilan supaya dapat dipandang hukum. Atau dengan kata-kata lain bahwa orang makin yakin bahwa hukum positif harus menurut norma-norma yang tertentu yakni prinsip-prinsip keadilan. Thomas Aquinas membedakan keadilan dalam tiga bagian diantaranya :
§    Keadilan distributif : yang menyangkut hal umum
§    Keadilan tukar menukar : yang menyangkut barang yang ditukar.
§    Keadilan legal : yang menyangkut keseluruhan hukum.
Andang L. Binawan pernah menegaskan, bahwa hukum dan keadilan adalah dua hal yang berbeda, walaupun tidak bisa dipisahkan. (Binawan, 2004) Keadilan adalah sebuah cita-cita yang menjadi arah dari kehidupan manusia. Sementara hukum adalah ciptaan manusia yang sudah sejak proses pembentukannya menggendong ketidakadilan.
Oleh karena itu di satu sisi, hukum harus cukup detil menampung semua aspek dari kehidupan manusia yang perlu untuk diatur guna mencegah terjadinya kerugian sosial (social lost). Di sisi lain hukum perlu untuk cukup terbuka untuk bisa ditafsirkan dengan mengacu pada prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi daripada pasal-pasal hukum itu sendiri. Kasus lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan pemberantasan korupsi menunjukkan kurangnya otoritas hukum yang berlaku (kurang detil di dalam penerapan pasal per pasal). Sementara kasus penangkapan seorang nenek berusia 55 tahun setelah ia mencuri 3 biji kakao untuk ditanam sungguh mengganggu rasa keadilan masyarakat (hukum tidak mengacu pada prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi).
Penilaian hukum dan keadilan itu relatif, karena jika diterapkan secara ketat sesuai dengan rumusan yang ada, maka kemungkinan besar akan melanggar rasa keadilan yang ada di masyarakat. Namun jika ditafsirkan terlalu jauh dari pasal hukum demi penyesuaian terhadap rasa keadilan masyarakat, hukum pun menjadi tidak berguna, karena ia tidak lagi memiliki otoritas untuk dipatuhi.
Hukum yang ideal adalah hukum yang berada di titik seimbang antara positivisme hukum (penafsiran secara ketat dengan mengacu pada pasal-pasal hukum), dan rasa keadilan (moralitas dan norma-norma yang menurut suatu masyarakat dianggap sebagai adil).
Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian hak dan kewajiban, hak yang bersifat mendasar sebagai anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu hak yang dimiliki seseorang sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat. Keadilan merupakan salah satu tujuan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Keadilan adalah kehendak yang ajeg, tetap untuk memberikan kepasa siapapun sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan tuntutan jaman
     Menurut  Immanuel Kant bahwa diperlukan bagi menuju suatu keadilan adalah dengan yang yang namanya “prejuridical society” (masyarakat hukum). “Prejuridical society” yang diandaikan Kant adalah menuntut bahwa pelaksanaan hak (hukum) harus disertai dengan kesediaan memikul kewajiban dan tanggungjawab demi kebaikan bersama. Tanggungjawab ini muncul bukan karena warga negara memiliki kewajiban moral natural terhadap Negara. Individu tidak memiliki moral natural terhadap Negara, tetapi pertama-tama dan terutama karena setiap warga Negara atau individu memiliki tanggungjawab moral natural terhadap sesama, yakni kewajiban bukan saja untuk tidak merugikan, tetapi lebih dari itu, melakukan sesuatu demi pemenuhan hak-hak sesama
Masyarakat hukum dan Negara hukum inilah yang bisa memberikan “jaminan hukum” bahwa hukum dibangun memang untuk menegakkan keadilan. Bukan untuk membuka kesewenang-wenangan dan kemunafikan. Tetapi membuka jalan kebahagiaan dan ketentraman. Karena tanpa keadilan, maka hukum hanya akan terperosok menjadi alat pembenaran kesewenang-wenangan mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai.
     Tata rakit antara filsafat, hukum dan keadilan, dengan filsafat sebagai induk ilmu (mother of science), adalah untuk mencari jalan keluar dari belenggu kehidupan secara rational dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan dalam hidupnya. Peranan filsafat tak pernah selesai, tidak pernah berakhir karena filsafat tidak menyelidiki satu segi tetapi tidak terbatas objeknya, namun filsafat tetap setia kepada metodenya sendiri dengan menyatakan semua di dunia ini tidak ada yang abadi yang tetap hanya perubahan, jadi benar filsafat ilmu tanpa batas. Filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika yang bersifat universal.
Rasa keadilan harus diberlakukan dalam setiap lini kehidupan manusia yang terkait dengan masalah hukum, sebab hukum terutama filsafat hukum menghendaki tujuan hukum tercapai yaitu :
1.         Mengatur pergaulan hidup secara damai.
2.         Mewujudkan suatu keadilan.
3.         Tercapainya keadilan berasaskan kepentingan, tujuan dan kegunaan, kemanfaatan dalam hidup bersama.
4.         Menciptakan suatu kondisi masyarakat yang tertib, aman dan damai.
5.         Hukum melindungi setiap kepentingan manusia di dalam masyarakat, sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga terwujud kepastian hukum (rechmatigkeit) dan jaminan hukum (Doelmatigkeit).
6.         Meningkatkan kesejahteraan umum (populi) dan mampu memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan seluruh anggota masyarakat serta memberikan kebahagiaan secara optimal kepada sebanyak mungkin orang, dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya (utilitarianisme).
7.         Mempertahankan kedamaian dalam masyarakat atas dasar kebersamaan sehingga terwujud perkembangan pribadi atas kemauan dan kekuasaan, sehingga terwujud pemenuhan kebutuhan manusia secara maksimal” dengan memadukan tata hubungan filsafat, hukum, dan keadilan.
Penjabaran fungsi filsafat hukum terhadap permasalahan keadilan merupakan hal yang sangat fundamental karena keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum yang diterapkan pada Hukum Positif. Hukum merupakan alat untuk mengelola masyarakat (Law as a tool of social engineering, menurut Roscoe Pound), pembangunan, penyempurna kehidupan bangsa, negara dan masyarakat demi terwujudnya rasa keadilan bagi setiap individu, yang berdampak positif bagi terwujudnya “kesadaran hukum”. Ini merupakan cara untuk menjabarkan fungsi hukum yang masih relevan dengan kehidupan peraturan-perundang-undangan yang berlaku (Hukum Positif).


BAB III
PENUTUP

A.        Kesimpulan
Pada dasarnya hakekat hukum yang ideal sebagai obyek filsafat hukum tentunya mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri.
Oleh sebab itu, hukum harus melindungi kepentingan-kepentingan sebagimana yang dikemukakan oleh Pound yaitu sebagai berikut :
1.         Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari :
a.         Kepentingan negara sebagai badan hukum
b.         Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2.         Kepentingan Masyarakat (Social Interest):
a.         Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban
b.         Perlindungan lembaga-lembaga sosial
c.         Pencegahan kemerosotan akhlak
d.         Pencegahan pelanggaran hak
e.         Kesejahteraan sosial
3.         Kepentingan Pribadi (Private Recht):
a.         Kepentingan individu
b.         Kepentingan keluarga
c.         Kepentingan hak milik.

B.        Saran
Sebagai bentuk saran dari penulis hubungannya dengan hakekat, pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum yakni sebagai insan yang berpikir tentunya dapat membedakan yang mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang salah dan mana yang benar. Utamanya kepada para penegak hukum, haruslah mengetahui akan makna hukum itu sendiri agar tidak terjebak dalam dinamika perdebatan akan makna hukum itu, sehingga dengan demikian mereka mampu menegakkan hukum secara ideal yang mengedepankan keselarasan antara keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum.











DAFTAR PUSTAKA

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Kencana, Syafiie Inu, Pegantar Filsafat. Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan kedua , Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
Soeyono Koesoemo Sisworo, “Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum”, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Soeyono Koesoemo Sisworo, Pidato Ilmiah Dies Natalis Ke-25 UNISSULA, “Dengan semangat Sultan Agung Kita Tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan kebenaran, suatu perjuangan yang tidak pernah tuntas”.
Definisi Filsafat Hukum. http://definisi-pengertian.blogspot.com/2009/11/definisi-filsafat-hukum.html. (diakses pada 9 Januari 2011).
Penafsiran Hukum dan Rasa Keadilan.
http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/261. (Diakses pada 10 Januari 2011).
Membangun Hukum, Membela Keadilan. http://kampus.mitrahukum.org/?p=147. (Diakses pada 9 Januari 2011).


   















Tidak ada komentar:

Posting Komentar